STOP BULLYING ANAK

Sekolah dan orang tua memiliki peran yang sangat penting untuk pencegahan. Para guru harus peka terhadap siswa yang mengalami bullying dan segera mengambil tindakan. tidak hanya itu, sekolah memiliki kewajiban untuk mengedukasi tentang bahaya bullying

Orangtua juga harus selalu memperhatikan anaknya, menanyakan aktivitas-aktivitas yang dilakukan anak ketika tidak dalam pengawasan kita, tah itu di sekolah ataupun di lingkungan bermainnya. Sampai sekarang kasus bullying terhadap anak kerap terjadi. Ironisnya, tidak sedikit korban bullying anak sampai meninggal. 

Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pelanggaran hak anak pada tahun 2021 menunjukkan angka masih cukup tinggi. data pengaduan masyarakat, pada tahun 2019 terdapat 4.369 kasus pada 2020 naik menjadi 6.519 kasus dan 2021 masih mencapai angka 5.953 kasus. 
Bullying berdampak pada psikologi anak

Mengejutkannya lagi, dari data simponi KPPA, pada akhir tahun 2002 satu, di Jawa Timur terdapat 1.283 korban kekerasan yang dilaporkan. Jumlah itu terdiri dari 873 anak perempuan dan 400 bulan anak laki-laki serta 41 anak (semua laki-laki) yang berkonflik dengan hukum ditahan dan ditempatkan di lembaga pemasyarakatan. KPAI juga mencatat ada sejumlah kasus kekerasan berupa perundungan dan kekerasan fisik, memasuki semester pertama tahun 2022. kasus tersebut dilakukan baik oleh pendidik maupun sesama peserta didik yang sudah diadukan dan juga tidak ke KPAI. 

"Sejak januari-juni 20 21 ada 5 kasus perundungan berupa kekerasan yang dilakukan pendidik kepada peserta didik, yaitu terjadi di kota Surabaya dan Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur) , Kabupaten Buton (Sulawesi Tenggara), Kabupaten Kupang (Nusa Tenggara Timur), dan kota Samarinda (Kalimantan Timur). Dari 5 kasus tersebut 3 kasus terjadi di jenjang SMP dan 2 kasus di jenjang SD. Adapun pelaku adalah 4 guru, yaitu 2 guru olahraga dan 2 guru kelas, sedangkan 1 kasus adalah kekerasan 5 anak (kakak senior) terhadap 2 adik kelasnya," ungkap komisioner KPAI Retno listyarti. 

Sejumlah alasan guru mendisiplinkan dengan kekerasan yaitu peserta didik ribut saat di kelas, siswa tidak mengembalikan buku cetak yang dipinjamkan sekolah, dan siswa tidak bisa menjawab pertanyaan guru. Selain itu, ada juga siswi yang tidak ikut pembelajaran daring selama setahun dan tidak punya seragam sekolah karena sudah kekecilan, kemudian diminta keluar kelas dan sempat dibully kawan-kawan di kelasnya. 

"Selain itu, kasus kekerasan psikis di mana anak-anak mengalami ketakutan atau rasa malu karena orang tua belum mampu melunasi tagihan sekolah,sehingga anak-anaknya mengalami perlakuan diskriminasi dan pembullyan terjadi di beberapa daerah, seperti kabupaten Bantul (DIY), banyuwangi (Jawa Timur) dan bekasi (Jawa Barat),"tambahnya.

Celakanya, perundungan terhadap anak tidak hanya secara fisik. Di era digital, kekerasan pada anak juga banyak terjadi di ruang online. Indonesia termasuk dalam 10 negara teratas dengan kasus kekerasan seksual anak online tertinggi sejak 2005.

Jajak pendapat U-Report 2019 terhadap 2.777 anak muda Indonesia usia 14-24 tahun, menemukan 45% mengalami cyber bullying;jumlah anak laki-laki sedikit lebih tinggi dari anak perempuan masing-masing 49% dan 41%.lalu 3 dari 10 anak mengalami eksploitasi dan kekerasan seksual online. 

KEMBANGKAN  SISTEM PERLINDUNGAN ANAK

Sebanyak 196.7 juta orang Indonesia terhubung dengan internet, hampir setengah dari jumlah tersebut mengakses internet melalui smartphone. Di Jawa Timur, 26.4 juta orang akses internet atau lebih dari 64% dari total penduduk Jawa Timur. Anak-anak di Indonesia menggunakan smartphone sebagai perangkat utama mereka di ruang daring/online. Kepemilikan smartphone dan penggunaan media sosial rentang usia 16-24 tahun mencapai 93,3%dan 90,7%.sebanyak 41% anak-anak dan remaja di Indonesia menyembunyikan usia sebenarnya di dunia maya.

Atas kondisi demikian, lembaga perlindungan anak (LPA) Jatim bersama UNICEF Indonesia terus mendukung pengembangan sistem Perlindungan Anak yang integratif serta holistic. Mengajak semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) serta stakeholder perlindungan anak di tingkat Jawa Timur untuk bisa bersama-sama membangun lingkungan yang aman dan ramah anak. 

Spesialis Perlindungan Anak UNICEF wilayah Jawa, Naning Pudjijulianingsih memandang, sistem perlindungan anak di Jatim sudah dikembangkan di beberapa daerah, termasuk peningkatan kapasitas layanan Kesejahteraan Sosial dan perlindungan anak, layanan di tingkat masyarakat / berbasis masyarakat, edukasi pengasuhan positif dan penguatan kapasitas anak sebagai pelopor dan pelapor.

Tidak ada komentar untuk "STOP BULLYING ANAK"